Dalam segmen ”Solusi Sehat TVRI NTT”, Maria Philomena Erika Rengga yang akrab disapa Rilke ini, menerangkan bahwa bakteri penyebab TBC mudah menginfeksi orang-orang yang mengalami imunokompromi.
Pasien dengan imunokompromi tersebut seperti pasien HIV, usia dini ataupun usia lanjut, dan juga orang-orang dengan penyakit kronis seperti diabetes melitus.
”Penyakit TBC dapat dikenali oleh gejala awal berupa batuk yang berkepanjangan, batuk berdarah, demam, hingga penurunan berat badan drastis dalam waktu tertentu tanpa sebab yang jelas,’’ terang Rilke.
’’Jadi jika tampak gejala-gejala ini segera periksakan diri ke puskesmas terdekat,” jelas Rilke.
Dalam dialog interaktif ”K’tong Ba’omong”, Rilke menghimbau agar masyarakat yang menunjukkan gejala -gejala penyakit TBC untuk langsung memeriksakan diri ke puskesmas terdekat.
Pasien akan menjalani pemeriksaan penunjang di laboratorium untuk memastikan seseorang terinfeksi TBC.
Pasien TBC tidak perlu mengkhawatirkan tentang biaya untuk terapi TBC karena pengobatan penyakit ini sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah RI.
”Pengobatan untuk penyakit TBC akan diberikan secara gratis melalui puskesmas-puskesmas di seluruh Indonesia,” terang Nur Oktavia dalam program ”K’tong Ba’omong”.
Narasumber lainnya dalam ”K’tong Ba’omong”, Devi Sandi, menerangkan bahwa terapi TBC berlangsung selama 6 bulan dan terbagi menjadi 2 bulan fase awal (intensif) dan 4 bulan fase lanjutan.
Terapi yang rutin selama 6 bulan ini ditujukan untuk membunuh dan memastikan eliminasi bakteri penyebab TBC dari tubuh pasien.
Tantangan terbesar dari penanganan penyakit TB muncul dari stigma atau pandangan negatif masyarakat terhadap penyakit TBC.
Devi Sandi membagikan kisah salah satu pasien TBC berusia 16 tahun yang sempat mengalami gagal terapi fase awal, karena sering diejek oleh teman-temannya dengan panggilan ’tbc, tbc’ saat pasien akan minum obat.
Kurangnya pengetahuan tentang TBC serta pengobatannya menjadi penyebab timbulnya stigma ini.
Banyak masyarakat yang masih menganggap TBC sebagai penyakit turunan atau bahkan kutukan, sehingga pasien penyakit TBC cenderung dikucilkan.
Kondisi ini sangat merugikan bagi pasien TBC.
”Penyakit TBC menjadi berbahaya jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat,’’ jelas Nur Oktavia.
’’Sayangnya, pasien TBC cenderung merasa malu, takut dan khawatir karena harus minum obat dalam jangka waktu panjang,’’ lanjut Nur Oktavia.
’’Kami harapkan agar pasien tidak perlu khawatir karena penyakit TBC bisa sembuh,’’ tegas Nur Oktavia.
’’Jika khawatir tentang penggunaan obatnya, dapat bertanya kepada apoteker tentang keamanan obat tersebut,” pungkas Nur Oktavia.