Sementara itu, dalam kesempatan terpisah, Julian Afferino, CEO Pharmacare Consulting menegaskan, isi ayat (2a) DIM usulan pemerintah itu, tidak bisa dikatagorikan sebagai task shifting, melainkan pencaplokan.
‘’Ini sudah pencaplokan, bukan task shifting lagi. Kalau task shifting maka alih tugas dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi yang setara. Di ayat tersebut sama sekali tidak disebutkan mengenai syarat kesetaraan kompetensi,’’ tegas Julian Afferino.
Dalam RUU Kesehatan OBL hasil paripurna DPR dalam pasal 173 disebutkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan pelayanan sesuai standar, itu artinya harus ada the right man on the right place. Kalau menggunakan istilah task shifting itu artinya pengalih tugas harus seorang yang memiliki kompetensi yang setara. Jadi kalau dialihkan ke kompetensi yang lain, itu namanya pencaplokan, bukan pengalihan tugas.
Ia menyebut, usulan IAI mengenai definisi praktik kefarmasian sudah benar.
Sementara menurut Julian Afferino, usulan Kemenkes tersebut mempersempit peran apoteker dalam praktik kefarmasian.
‘’Ayat (2a) ini seharusnya tidak boleh masuk dalam RUU Kesehatan OBL, karena sifatnya adalah darurat. Kondisi darurat diatur kemudian dalam peraturan yang lebih rendah,’’ katanya.
Ia kemudian menyebutkan, dalam kasus pandemic Covid-19 dilakukan task shifting dalam hal distribusi obat oleh perawat, dan itu diputuskan dalam sebuah kebijakan, bukan undang-undang.
‘’Tapi kalau hal tersebut diatur dalam RUU, itu berarti kudeta, mencaplok. Jangan sampai tertipu dengan istilah pengalihan tugas. Kalau alih tugas maka kompetensinya harus setara, tetapi dalam ayat (2a) tersebut, tidak ada keharusan memiliki kompetensi yang setara,’’ tegasnya.***