HOME

Mungkinkah Mengintegrasikan Pengobatan Tradisional ke Dalam Pengobatan Konvensional di Indonesia?

Kunyit
Kunyit (Curcuma domestica Vall)

Meskipun WHO sudah berupaya untuk mendorong integrasi antara pengobatan tradisional dengan pengobatan konvensional, namun hingga hari ini tidak banyak negara yang berhasil melakukannya.

Dari seluruh negara anggotanya, hanya 79 negara yang sudah memiliki program nasional tentang pengobatan tradisional dan komplementer.

Indonesia sendiri telah melakukan upaya integrasi dengan menerbitkan beberapa dokumen tentang obat bahan alam seperti Farmakope Herbal Indonesia, Formularium Obat Herbal Asli Indonesia, Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik, Peraturan Persyaratan Keamanan dan Mutu Obat Bahan Alam, Peraturan Uji Farmakodinamik Bahan Alam, dan Peraturan Registrasi Obat Tradisional.

Namun, terlepas dari upaya yang telah dilakukan, integrasi pengobatan tradisional dan pengobatan konvensional masih belum dapat dilakukan secara utuh.

Masih terdapat masalah yang harus dibenahi, seperti keraguan para tenaga medis untuk menggunakan obat tradisional.

Masalah dalam Penggunaan Obat Tradisional oleh Tenaga Medis

Keraguan tenaga medis untuk menggunakan obat tradisional sebenarnya bukan tanpa alasan.

Terdapat beberapa masalah dalam penggunaan obat yang berasal dari bahan alam.

Pertama, dari sisi efikasi atau kemanfaatan. Data uji farmakodinamik, yang memeriksa aktivitas suatu obat bahan alam kebanyakan baru hasil uji pada hewan (uji praklinik) dengan jumlah sampel terbatas.

Sementara untuk data uji aktivitas obat pada manusia (uji klinik) masih sangat terbatas.

Dalam konteks Indonesia, hingga tahun 2023 produk obat bahan alam yang sudah melalui uji aktivitas ada 81 Obat Herbal Terstandar (uji praklinik) dan 22 Fitofarmaka (uji Klinik).

Kedua, informasi mengenai efek samping (side effect) dan efek yang tidak diinginkan (adverse effect) baik dari tanaman obat atau produk obat bahan alam masih terbatas.

Terbatasnya informasi ini semakin meningkatkan keraguan tenaga medis untuk meresepkan obat bahan alam yang sudah teregistrasi dan beredar.

Ketiga, kecuali pada Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka, ada potensi pengoplosan obat bahan alam dengan obat konvensional.

Kejadian ini sering ditemukan pada produk jamu sehingga Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) harus terus memastikan bahwa obat bahan alam yang beredar aman dari tambahan obat konvensional.

Keempat, dalam proses pembuatan sediaan obat bahan alam, terdapat tantangan untuk menjamin kebenaran identitas bahan alam yang digunakan.

Ada beberapa tanaman obat yang memiliki kemiripan morfologi sehingga bisa ditukar dalam sediaan obat bahan alam, dan ini menjadi kekhawatiran tentang integritas produsen dari obat bahan alam tersebut.

Exit mobile version