HOME

Bivitri Susanti : Teknik Omnibus Law Ditinggalkan Negara Maju, Bersifat Instan dan Merusak

Screenshot 2023 06 13 at 19.21.23 e1686735225364
Bivitri Susanti, Ahli Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera saat memberikan pernyataan bersama Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Keadlian Akses Kesehatan
Bivitri Susanti, Ahli Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera saat memberikan pernyataan bersama Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Keadlian Akses Kesehatan

JAKARTA, IAINews – Ditinjau dari teknik perancangan, isi dan metodanya, RUU Kesehatan Omnibus Law tidak akan memberikan hasil  seperti yang diharapkan. Karena itu harus ditunda pengesahannya.

Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentara mengemukakan hal itu didepan wartawan dalam konferensi pers yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan di kantor YLBHI, Selasa, 13 Juni 2023 lalu.

Koalisi beranggotakan 43 organisasi massa yang bergerak di berbagai bidang.

Menurut Bivitri Susanti,  Teknik perancangan undang-undang yang digunakan memiliki tujuan-tujuan tertentu.

Dalam pandangan Bivitri Susanti, Teknik Omnibus law ini berbahaya, karena memberikan perubahan yang bersifat instan dan merusak.

‘’Karenanya dibanyak negara tehnik omnibus law ini sudah ditinggalkan,’’ ungkap Bivitri Susanti.

‘’Pemerintah kita senang dengan perubahan yang bersifat instan seperti ini. Namun kita tahu, bahwa sesuatu yang bersifat tidak akan bertahan lama,’’ ungkap Bivitri Susanti.

Perubahan instan ini tidak akan memberikan kondisi yang lebih baik, dibandingkan kondisi sebelumnya.

Hal itu karena sesuatu yang bersifat instan ini akan menyembunyikan hal-hal yang seharusnya menjadi perhatian banyak masyarakat.

Karena bersifat instan, maka teknik ini akan melewatkan keterlibatan stakeholder.

Sementara dari isi atau kontennya, secara politik hukum RUU Kesehatan ini menempatkan kesehatan sebagai industry, bukan sebagai hak asasi manusia.

‘’Itu tergambar dalam isi RUU ini. Kalau paradigma kesehatan sebagai hak, bukan hanya orang kaya yang bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, tetapi orang miskin juga,’’ tegas Bivitri Susanti.

Dalam RUU Kesehatan Ominus Law ini, orang miskin tidak memiliki pilihan layanan kesehatan.

Kesehatan diposisikan sebagai industry, sumber mendapatkan keuntungan, dan kendalinya ditempatkan dibawah Kementerian Kesehatan.

Sementara dari sisi metoda, yang digunakan seharusnya adalah metoda partisipasi. Dengan metoda ini, seharusnya Kementerian Kesehatan dan anggota legislatif banyak mendengarkan masukan dari stake holder.

Namun pada saat ini, para politisi kita sedang fokus pada rencana pemilu tahun depan. Politisi kita sedang tidak fokus pada produk legislasi, pengawasan dan anggaran.

‘’Kondisi saat ini sangat tidak ideal untuk meng-goal-kan sebuah RUU,’’ kata Bivitri Susanti.

Exit mobile version