Oleh: Dr. apt. Chazali H. Situmorang, M.Sc
Pemerhati Kebijakan Publik/Ketua Dewas Pusat IAI/Dosen FISIP UNAS
KITA semua sepakat dan juga Konstitusi Negara mengamanatkan bahwa Indonesia bercita-cita mewujudkan negara sejahtera (WelfareState).
Beberapa pasal di Konstitusi antara lain pasal 28H dan pasal 34, mengingatkan betul kepada penyelenggara negara untuk mewujudkan masyarakat yang sehat, mengatasi kemiskinan, mencerdaskan masyarakat, dan memberikan jaminan sosial kepada seluruh penduduk.
Tiga pilar utama untuk mewujudkan welfarestate itu, adalah pilar pendidikan, pilar kesehatan dan pilar meningkatkan pendapatan masyarakat ( perekonomian rakyat).
Disamping perintah Konstitusi, juga TAP MPR Nomor 10 Tahun 2001, memerintahkan kepada Presiden untuk menyediakan biaya pendidikan 20% dari APBN, serta untuk mencapai Human Development Indeks, anggaran kesehatan diupayakan mencapai 15% dari APBN.
Kekuatan hukum TAP MPR itu setingkat dibawah Konstitusi, tetapi juga setingkat diatas Undang-Undang. Lihat saja UU Nomor 12 Tahun 2011 ( pasal 7) dan diubah menjadi UU Nomor 13/2023 Tentang Penyusunan Peraturan Per-Undang-Undangan.
UU Tentang Kesehatan adalah UU yang merupakan urutan ketiga sesuasi pasal 7 UU 12/2011, sesudah UU Dasar 1945 dan TAP MPR. Artinya Undang-Undang Kesehatan itu tidak boleh bertentangan dengan norma hukum diatasnya.
Itulah sebabnya mengapa UU 36/2009, mencantumkan mandatory spending untuk anggaran kesehatan sebesar minimal 5% dari APBN dan minimal 10% dari APBD ( pasal 171 ayat (1) dan (2). Pemerintah dan DPR sepakat pada tahun 2009 itu untuk patuh pada pasal 28H dan pasal 34 Konstitusi dan TAP MPR Nomor 10/2001.
Terbitnya mandatory spending sektor Kesehatan itu dengan alas hukum Undang-Undang, untuk melengkapi sektor Pendidikan yang atas perintah Konstitusi ditetapkan anggaran yang harus disediakan minimal 20% dari APBN dan APBD.
Apakah dengan mandatory sepending di sektor kesehatan dan pendidikan dapat menaikkan dengan signifikan Indek Pembangunan Manusia Indonesia (HDI), ternyata belum. Kita ketahui 3 variabel indeks yang digunakan adalah kesehatan, pendidikan dan pengeluaran riil per kapitan yang disesuaikan. IPM iIndonesia tumbuh 0,003 tahun 2020, 0,49 tahun 2021, dan 0,86 pada tahun 2022. Pada tahun 2019 sempat tumbuh 0,74.
Selama 4 tahun IPM Indonesia belum berhasil tumbuh menembus angka 1. Dengan effort dari 2 sektor saja (Pendidikan, dan Kesehatan), menghabiskan anggaran 25% dari APBN.IPM Indonesia tahun 2021 adalah 72,29 dan tahun 2022 adalah 73,15, masuk kategori “Tinggi”. Negara tetangga sudah masuk kategori “Sangat Tinggi” di atas 80. Dibanyak Negara, termasuk Indonesia bahwa IPM merupakan salah satu indikator utama untuk menilai kinerja pemerintah, Bayangkan pemerintah setiap tahun tidak mampu menaikkan 1 poin Indeks Pembangunan Manusia Indonesia.