Disamping itu mengajak pihak investor untuk mendirikan RS-RS Internasional, dan memasukkan dokter spesialis asing dan aseng (?) dari pada mereka berobat ke LN, yang menurut hitungan pemerintah sampai Rp. 170 triliun dana keluar dari kocek 1 juta masyarakat Indonesia. Dengan RUU Obl Kesehatan, pemerintah lebih mempermudah lagi dengan menyediakan RS-RS Internasional tumbuh subur di Indonesia tentu dengan paket dokternya, dan mengambil langsung uang dari kocek masyarakat untuk mereka bawa pulang ke negeri asalnya. Itu logika yang sulit terbantahkan.
Bagaimana dengan dokter spesialis Indonesia apa tidak bisa bekerja di RS Internasional? Pasti bisa, dan dibutuhkan khususnya untuk menjadi dokter jaga. Ngak mau? Pikir dua kali, karena akan diberikan gaji tinggi. Tenaga kesehatan Indonesia akan menjadi kacung di negeri sendiri.
Dahsyatnya dampak utang bagi keberlangsungan pembangunan manusia Indonesia, saat ini sudah menunjukkan sisi “ destruktif”nya. Perintah Konstitusi dan TAP MPR Nomor 10/2001 terkait biaya kesehatan 15% sudah dikesampingan pada titik nol %. Kalau Presiden Jokowi mengatakan bahwa pembangunan itu harus berkelanjutan tidak mulai dari 0 KM seperti stasiun pump bensin. Nyata Presiden Jokowi menginginkan melalui Menkes agar mandatory spending kesehatan dimulai dari nol %.
BPJS Kesehatan akan jadi bantalan biaya kesehatan
Kondisi Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS Kesehatan saat ini sedang surplus puluhan triliun, membuka mata pemerintah untuk melihat potensi dana milik masyarakat yang didapat dari iuran itu sekitar Rp. 140 triliun, selisih sedikit dengan belanja sektor kesehatan dari APBN 2023 ( Rp. 150 triliun), dugaan kita semakin menggairahkan Kemenkeu dan Kemenkes untuk menjadikan DJS itu sebagai bantalan pelayanan kesehatan.
Secara perlahan tapi pasti pemerintah akan mengurangi dana PBI, bahkan sampai hari ini belum ada kebijakan pemerintah untuk mengalokasikan dan PBI itu di sektor mana, apakah sektor kesehatan atau sektor social security , atau ikut hilang bersama belanja sektor kesehatan. Boleh saja pemerintah mengurangi dana PBI asalkan pendapatan masyarakat makin meningkat dan lapangan kerja terbuka lebar.
Konsekwensinya persoalan cost sharing dalam pelayanan kesehatan akan muncul lagi kepermukaan. Terutama penyakit katastropik dan chronic, yang memerlukan belanja obat yang mahal, pihak BPJS Kesehatan mungkin tidak sanggup lagi membiayainya secara penuh. BPJS Kesehatan dengan tekanan keadaan termasuk besarnya utang belanja negara, harus bermanuver mempertahankan diri dari iuran peserta yang tidak mudah dan sensitif jika dinaikkan. Apalagi jika PBI menciut, dan peserta menunggak semakin banyak.