JAKARTA, IAINews – Setelah 5 Organisasi Profesi Kesehatan (OPK), kali ini giliran masyarakat sipil menyampaikan desakan penundaan RUU Kesehatan Omnibus Law.
Dalam siaran pers yang diterima IAINews hari ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan mendesak DPR dan pemerintah untuk menunda Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan (Omnibus Law).
Sejak digulirkan ke publik, RUU ini menuai pro-kontra cukup besar sebab belum berpihak pada kepentingan rakyat.
RUU ini juga belum berorientasi pada perlindungan dan pemenuhan Hak atas Kesehatan publik yang merupakan amanah konstitusi.
Dalam siaran pers tersebut, disebutkan, setelah menyimak komunikasi publik yang disampaikan pemerintah dan mempelajari draf RUU beserta DIM usulan pemerintah, koalisi mencatat sejumlah alasan penundaan.
Pertama, pembahasan RUU tertutup dan tanpa partisipasi publik yang bermakna.
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa dari 478 pasal dalam RUU Kesehatan, total DIM batang tubuh sebanyak 3020: sebanyak 1037 tetap, 399 perubahan redaksional, dan 1584 perubahan substansi.
Akan tetapi DIM yang dibahas sejak Agustus 2022 baru diketahui publik sekitar Maret 2023.
Hingga saat ini, publik juga belum disuguhkan draft terbaru RUU Kesehatan.
Adapun naskah yang dipublikasi oleh Kementerian Kesehatan melalui kanal partisipasisehat.kemkes.go.id merupakan naskah per Februari 2023 dan disebut pihak Kemenkes sudah mengalami sejumlah perubahan.
Perumusan RUU Kesehatan dapat disebut menempuh proses senyap dan tanpa melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
Perumusan RUU Kesehatan juga tidak melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk organisasi profesi, anak muda, kelompok perempuan dan ibu, pakar, akademisi, ilmuwan, dan kelompok disabilitas secara bermakna untuk memastikan kepentingan kesehatan segenap kelompok warga terlindungi dalam RUU Kesehatan.
Seharusnya, perumus UU melibatkan publik sejak awal pembahasan, bukan sekedar sosialisasi draft yang sudah disusun.
Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUUXVIII/2020, partisipasi publik bermakna tak sebatas pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), melainkan pula menguji sejauh mana pemerintah mempertimbangkan hak warga dalam memberikan pendapatnya (right to be considered).
Bahkan bila tidak diakomodasi, masyarakat berhak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).