Hal demikian, tidak dilakukan oleh pihak pemerintah maupun DPR dalam merumuskan RUU Kesehatan.
Partisipasi publik yang bermakna sangat penting untuk menjamin hasil undang-undang yang memenuhi rasa keadilan (social justice) dan perlindungan kesehatan publik.
Selain itu, proses yang tidak partisipatif melenceng dari amanah UU No. 13 tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Karenanya, pengesahan RUU Kesehatan harus ditunda hingga pemerintah dan DPR berkomitmen melakukan proses perancangan dan pembahasan yang memenuhi prinsip keterbukaan, kejujuran, dan kemanusiaan serta keadilan.
Kedua, lemahnya urgensi kebutuhan RUU Kesehatan dengan metode omnibus law. DIM RUU Kesehatan tidak cukup menjelaskan urgensi mengapa diperlukan metode omnibus law dengan meleburkan 10 (sepuluh) peraturan perundang-undangan.
Tidak terlihat masalah dasar yang dijadikan basis perlunya membuat RUU omnibus law.
Karenanya, gagasan transformasi kesehatan yang digulirkan Kementerian Kesehatan melalui RUU Kesehatan ini perlu dikaji ulang secara komprehensif.
Waktu pembahasan yang begitu singkat, terburu-buru, tidak adanya transparansi, dan luasnya cakupan RUU Kesehatan di satu sisi, dan komunikasi publik yang dilakukan pemerintah yang cenderung fokus pada isu terkait organisasi profesi telah membingungkan sekaligus menyulitkan publik untuk memahami isinya.
Dominasi isu terkait organisasi profesi ini menyembunyikan substansi penting lainnya, seperti isu yang ada dalam siaran pers ini dan isu-isu penting lainnya yang telah dikemukakan oleh berbagai organisasi.
Dominasi isu terkait organisasi profesi mengaburkan ancaman terabaikannya pemenuhan hak atas kesehatan.***