Beliau menambahkan, “Audit kepada pelanggan dapat dilakukan untuk memastikan bahwa pelanggan memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk penyimpanan obat dan/atau bahan obat, dalam rangka menjamin mutu dan kualitas produk yang dikelola/disalurkan.”
Menurut Ani, analisis jumlah kebutuhan obat dalam pelayanan kefarmasian di sarana pelanggan juga sangat diperlukan. Ini untuk mengetahui rasionalitas jumlah obat yang dipesan dibandingkan dengan kebutuhan obat untuk pasien, guna mencegah penyalahgunaan obat-obatan, termasuk penjualan obat secara bebas.
“Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan jumlah batas kewajaran penjualan obat kepada sarana. PBF perlu menilai apotek yang membeli obat dalam jumlah sangat banyak, serta melakukan pembelian jenis sediaan injeksi atau infus, namun apotek tersebut terbilang sepi dan tidak ada praktik dokter atau fasilitas kesehatan di sekitar apotek. Ini berpotensi membuat apotek tersebut berisiko melakukan penyaluran obat, yang seharusnya apotek adalah sarana pelayanan, bukan sarana distribusi,” papar Ani.
“Contoh lainnya, PBF dapat menilai sarana puskesmas yang melakukan pengadaan jumlah besar jenis obat yang seharusnya dilakukan pelayanan melalui e-katalog,” tambahnya.
Fasilitas distribusi juga perlu memastikan kebenaran penyaluran melalui mekanisme pembayaran oleh pemesan. Mereka harus memantau setiap transaksi pelanggan dan melakukan penyelidikan jika ditemukan penyimpangan pola transaksi obat dan/atau bahan obat yang berisiko terhadap penyalahgunaan, serta memastikan kewajiban pelayanan distribusi obat dan/atau bahan obat kepada masyarakat terpenuhi.
Penerapan kualifikasi pelanggan seringkali dihadapkan pada beberapa kendala, salah satunya kriteria kualifikasi yang kompleks terkait batas kewajaran jumlah pesanan pelanggan, terutama untuk produk atau jasa yang memiliki risiko tinggi. APJ dan Kacab PBF harus menilai batas kewajaran suatu sarana dalam pemesanan obat.
Jika dinilai tidak wajar, perlu ada pembatasan penyaluran distribusi obat oleh PBF. Di sisi lain, PBF memiliki target pencapaian untuk menutupi biaya operasional perusahaan.
Namun, beberapa pelanggan merasa terganggu dan keberatan dengan proses kualifikasi yang dianggap terlalu rumit atau memakan waktu, yang sangat berpengaruh terhadap penurunan omzet PBF. Belum adanya standar kualifikasi yang jelas dan seragam dalam penilaian batas wajar jumlah distribusi obat juga menyebabkan perbedaan dalam penerapannya.
Ketua panitia kegiatan ini, Wisnu, menyampaikan harapan besar terhadap audiensi ini. “Kami berharap, dengan adanya audiensi ini, kita bisa menyelaraskan kriteria kualifikasi pelanggan yang kompleks terkait batas kewajaran distribusi obat kepada pelanggan, serta menemukan solusi.