HOME

Mengapa Pengawasan Campak dan Rubela Masih Lemah? Temuan Penting dari Studi Terbaru

97891356 l scaled 848x566 1
foto : https://familydoctor.org/

Studi yang diterbitkan dalam jurnal Clinical Epidemiology and Global Health mengevaluasi kinerja program pengawasan masyarakat dalam pengendalian penyakit campak dan rubela. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Bantul dengan melibatkan wawancara terhadap pengelola data, dokter, dan analis. Sebanyak 66,7% tenaga kesehatan dari 18 Puskesmas turut berpartisipasi dalam survei ini.

Data dikumpulkan menggunakan kuesioner semi-terstruktur berdasarkan pedoman evaluasi sistem pengawasan WHO. Kuesioner ini mencakup empat bagian utama: karakteristik demografi, jaringan, kemitraan, struktur pengawasan, serta atribut seperti ketepatan waktu, kelengkapan, kegunaan, kesederhanaan, penerimaan, dan fleksibilitas kualitas data.

Setiap variabel dianalisis dan diberi skor dalam tiga kategori: sistem dengan cakupan baik (>80%), cukup (60%-80%), dan lemah (<60%).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 13 dari 18 Puskesmas (55,6%) berpartisipasi dalam pengawasan campak berbasis kasus. Namun, hanya 6 fasilitas kesehatan swasta (3,7%) yang turut berpartisipasi, dengan 40,7% di antaranya melaporkan kesulitan dalam kerja sama.

Cakupan vaksinasi campak di fasilitas kesehatan umum terbilang baik. Namun, vaksinasi di klinik swasta dan bidan independen tidak diawasi, yang dapat memicu masalah pada sediaan rantai dingin.

Selain itu, umpan balik laboratorium untuk spesimen bergantung pada ketersediaan reagen dari Kementerian Kesehatan Indonesia. Pada tahun evaluasi, pengujian spesimen pada semester kedua tertunda akibat keterbatasan reagen, yang menghambat implementasi program pengawasan.

Penelitian juga menemukan bahwa indikator ketepatan waktu (50%) dan kelengkapan (58,9%) masih tergolong lemah. Hanya 6 Puskesmas (33,3%) yang konsisten dalam keakuratan pelaporan selama 2021-2022.

Meskipun begitu, ada peningkatan akurasi pelaporan pada tahun 2022 (91,9%) dibandingkan 2021 (71,4%). Sekitar 16,7% petugas kesehatan berhasil menyelesaikan laporan kasus dugaan campak-rubela menggunakan formulir wabah mingguan. Sementara itu, sekitar 47,4% pengelola data sudah menerapkan pedoman pengawasan campak nasional.

Kurangnya ketersediaan bukti pelaporan juga menjadi temuan penting. Walaupun semua Puskesmas menerapkan sistem pengawasan campak-rubela, hanya 63,2% responden yang bisa memberikan bukti pelaksanaan program pada 2021 dan 2022.

Kemampuan fasilitas kesehatan dalam mengadopsi definisi kasus baru meningkat dari 11,1% di tahun 2021 menjadi 66,7% di tahun 2022, meskipun indikator fleksibilitas tetap lemah.

Exit mobile version