Mataram, IAINews – Di Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), yang berlangsung pada Sabtu, 31 Agustus 2024, di Hotel Lombok Raya, Mataram, berbagai penelitian dipresentasikan dengan tema besar mengenai akses dan efektivitas obat di Indonesia.
Isu ini menjadi tantangan serius, terutama selama dan pasca-pandemi, di mana ketersediaan dan penggunaan obat yang tepat dan terjangkau sangat penting untuk mendukung pemulihan kesehatan masyarakat.
Penelitian-penelitian tersebut menawarkan solusi konkret untuk mengatasi masalah yang dihadapi dalam akses obat dan efektivitas penggunaannya.
Larasati Arrum Kusumawardania dari Universitas Indonesia, dalam penelitiannya, mengeksplorasi tantangan akses obat bagi pasien Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri di Jabodetabek.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan akses di awal 2022, harga obat yang tinggi dan kurangnya informasi yang akurat masih menjadi kendala utama.
Hal ini menekankan perlunya kesiapsiagaan lebih baik dalam menghadapi krisis kesehatan di masa depan.
Mengatasi isu terkait ketersediaan obat, Eme Stepani Sitepu dari Universitas Indonesia mengkaji pengelolaan stok obat di RSUD Bali Mandara.
Ia menemukan bahwa meskipun stok obat terjaga dengan baik, beberapa obat kadaluwarsa dan disimpan terlalu lama. Solusi yang diusulkan adalah peningkatan efisiensi pengelolaan persediaan agar obat yang tersedia dapat segera digunakan sesuai kebutuhan tanpa terbuang sia-sia.
Irhamahayati dari BPOM Jakarta mengangkat tantangan dalam mengendalikan resistensi antimikroba (AMR).
Meskipun ada program pengendalian penggunaan antibiotika, implementasinya di berbagai rumah sakit belum optimal.
Peneliti ini menyarankan peningkatan pengawasan dan pelatihan untuk tenaga kesehatan agar penggunaan antibiotik lebih terkontrol, sehingga efektivitas pengobatan dapat ditingkatkan.
Dianita Rahayu Puspitasari dari RSUD Dr. M. Soewandhie Surabaya menyampaikan isu terkait kebijakan pembiayaan obat, terutama golongan statin yang tidak diklaim oleh BPJS.
Banyak pasien, terutama yang tidak memenuhi syarat klaim, harus menanggung biaya obat sendiri, yang menambah beban finansial.
Penelitian ini mendorong adanya evaluasi kebijakan agar semua pasien dapat mengakses obat yang dibutuhkan tanpa beban biaya berlebihan.
Terakhir, Gugus Viriantia dari RSUD Sidoarjo menyoroti perbedaan antara biaya riil dan klaim BPJS pada pengobatan stroke.
Penelitiannya mengungkapkan bahwa tingginya biaya obat menjadi penyebab utama selisih negatif ini. Solusi yang diajukan adalah pengawasan lebih ketat terhadap penggunaan obat, dengan mempertimbangkan faktor seperti durasi rawat inap dan komorbiditas pasien.