‘’Sudah disusun dalam formularium herbal dengan harapan akan digunakan sebagai obat yang dapat digunakan di fasilitas Kesehatan setara dengan obat yang mengandung senyawa kimia,’’ tambah Nurul Falah.
Beberapa hal lain yang menjadi perhatian adalah tidak diakomodirnya pelayanan telefarmasi, yang seharusnya berjalan beriringan dengan pelayanan telemedisin.
‘’Telefarmasi, pemberian layanan kefarmasian oleh apoteker dengan menggunakan teknologi yang mempermudah pasien mendapatkan obat yang mudah dan aman, selama ini sudah berjalan dengan adanya apotek online,’’ tutur Nurul Falah.
‘’Dalam draft yang kami miliki, tidak ada pasal mengenai swamedikasi yang merupakan ranah apoteker,’’ tambah Nurul Falah.
Baik Noffendri Roestam dan Nurul Falah sepakat, bahwa pasal 149 ayat 2(a) usulan Kemenkes sangat merugikan profesi apoteker ke depannya.
Kemenkes mengusulkan tambahan ayat (2a) Dalam kondisi tertentu praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Tenaga Kesehatan lain secara terbatas selain Tenaga Kefarmasian.
‘’Kami mengkhawatirkan nasib 7000 lulusan apoteker baru setiap tahunnya, bila RUU Kesehatan OBL ini disahkan,’’ ucap Noffendri Roestam.
Pasal yang tidak kalah penting adalah pasal 182 mengenai struktur rumah sakit yang tidak mencamtumkan unsur kefarmasian didalamnya. Ini mengingatkan kepada PMK No 3 tahun 2020 yang memasukan apoteker dalam golongan penunjang non medis, dan setelah sejumlah aksi protes, akhirnya diterbitkan PP 47 tahun 2021 yang memasukan apoteker dalam struktur RS dalam unsur Kefarmasian.
Dalam pasal 182 usulan Kemenkes tertulis ‘Struktur Organisasi rumah sakit paling sedikit terdiri atas unsur pimpinan, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang non medis, unsur pelaksana administrasi dan unsur operasional.
‘’Apakah kita sebagai apoteker mau, dimasukan dalam golongan penunjang non medis?’’ tanya Noffendri Rostam.***