Dalam kondisi ini, maka OP Kesehatan tidak lagi memiliki kewenangan untuk melindungi anggota.
‘’Bila terjadi masalah hukum, maka anggota tidak akan lagi punya tempat untuk mengadu,’’ tutur cak Buhin.
‘’Karena itu, IAI, single bar is a must. Adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar tawar lagi,’’ tegas Cak Buhin.
UU Dibuat Berdasarkan Kasus
Sementara itu apt Chazali Situmorang, Ketua Dewan Pengawas (Dewas) IAI menjelaskan jejak digital RUU Kesehatan Omnibus Law ini.
Menurut Chazali diawali tahun lalu, beredar di media sosial dan online, naskah akademik (NA) dan RUU Kesehatan dengan pendekatan Omnibus Law.
‘’Dalam dokumen tersebut, tertera huruf bayang ‘confidential’, tanpa menyebut sumbernya, tak ada tim penyusun,’’ terang Chazali Situmoran.
‘’Isi naskah akademik amburadul, tidak jelas landasan sosial, psikologis dan hukum lebih banyak mengangkat kasus-kasus problem implementasi yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan regulasi dibawah undang-undang,’’ tutur Chazali Situmorang.
Tidak ada yang mengaku, pemerintah atau DPR yang Menyusun draft bodong tersebut.
Masyarakat kesehatan, organisasi profesi kesehatan menjadi hebog.
‘’Materi bodong itu menjadi bahan diskusi oleh OP dan lucunya Kemenkes mengundang OP untuk membahas dokumen bodong itu,’’ kata Chazali Situmorang.
Setelah berbulan-bulan kucing-kucingan, akhirnya Baleg DPR menyampaikan NA dan RUU Kesehatan inisiatif DPR (Baca Baleg), bukan Komisi IX yang membidangi kesehatan.
‘’Kenapa RUU Kesehatan Omnibus Law harus ditolak? Karena prosesnya tidak transparan, ada kongkalingkong pemerinah dengan DPR,’’ tegas Chazali Situmorang.
Chazali menyebut adalah invisible hand yang bermain, menyiapkan dokumen NA/RUU yang dipersiapkan pihak pemerintah, yang seharusnya pembasahan awal di Komisi IX DPR RI, namun justru tidak dilibatkan sejak awal.
Penyiapan dokumen NA/RUU Kesehatan yang terburu-buru, tidak dalam substansinya, padahl banyak UU lain yang dihapuskan, merupakan alasan lain mengeapa RUU Kesehatan Omnibus Law ini harus ditunda pembahasannya.***