Isu lain yang perlu menjadi perhatian adalah pola pengobatan sendiri (swamedikasi) yang tidak tepat sehingga menyebabkan adanya sisa obat yang disimpan dan akhirnya dibuang sembarangan. Di tahun 2019, BPOM telah mencanangkan program Ayo Buang Sampah Obat dengan Benar (ABSO dengan Benar) di 15 provinsi dengan melibatkan 1.000 apotek untuk mengelola sampah obat dari masyarakat. Dari program tersebut, diperoleh data bahwa antibiotik ikut menjadi salah satu sampah obat yang diterima. Fakta tersebut perlu menjadi perhatian, khususnya dikaitkan dengan ancaman AMR.
Imbas dari adanya AMR menyebabkan infeksi biasa seperti pneumonia, tuberkulosis, atau infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri resistan dapat menjadi sangat sulit atau bahkan tidak bisa diobati. “Dampaknya juga terhadap sektor ekonomi. Infeksi yang lebih lama dan lebih sulit diobati meningkatkan biaya perawatan kesehatan, termasuk biaya rumah sakit, perawatan intensif, dan obat-obatan. Selain itu, juga berdampak pada penurunan produktivitas kerja akibat meningkatnya angka kecacatan dan kematian akibat AMR,” papar Taruna Ikrar lagi.
Sejalan dengan Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RANPRA) 2020-2024 dan Rencana Aksi Nasional tahun 2025 – 2029 yang masih dalam proses penyusunan, BPOM bersama lintas sektor yang hadir pada hari ini kembali menggalang komitmen dalam memerangi resistansi antimikroba. Penggalangan komitmen ditandai dengan pengucapan bersama Ikrar Komitmen Pengendalian Antimikroba. Ikrar ini tercatat pada Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai Ikrar Terbanyak.
Hari ini diluncurkan pula Kolaborasi Program ABSO dengan Benar yang ditandai dengan penyerahan simbolis Pedoman ABSO dengan Benar kepada stakeholder, yaitu perwakilan UPT BPOM, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GP Farmasi), serta perwakilan apotek peserta baru dari program ini. Kolaborasi ini memperluas cakupan program yang sebelumnya hanya di 15 UPT BPOM menjadi seluruh wilayah Indonesia sehingga manfaat program dapat lebih dirasakan oleh masyarakat luas.
“Melalui kolaborasi ini, kami juga mendorong peran pelaku usaha untuk ikut aktif dalam upaya pencegahan resistansi antimikroba melalui skema corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial dunia usaha,” lanjut Kepala BPOM.
Rangkaian kegiatan hari ini juga menyajikan talkshow interaktif yang menghadirkan narasumber dari internal dan eksternal BPOM. Topik yang dibahas dalam talkshow adalah seputar bahaya resistansi antimikroba; upaya nyata dari regulator, praktisi, tenaga kesehatan dan pelaku usaha di bidang kesehatan; serta penyebarluasan materi edukasi tentang cara mengenali resistansi antimikroba dan cara mencegahnya.