PENGENDALIAN atau penanggulangan tuberkulosis (TB) yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi penularan maupun infeksi.
Pencegahan TB pada dasarnya adalah mencegah penularan kuman dari penderita yang terinfeksi dan menghilangkan atau mengurangi faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penularan.
Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara, yang utama adalah memberikan obat anti tuberkulosis (OAT) yang benar dan cukup, serta dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat.
Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah:
- Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup.
- Mencegah kematian dan/atau kecacatan karena penyakit TB atau efek lanjutannya.
- Mencegah kekambuhan.
- Menurunkan risiko penularan TB
- Mencegah terjadinya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) serta penularannya.
Pemberian OAT (obat anti tuberkulosis) adalah komponen terpenting dalam penanganan tuberkulosis dan merupakan cara yang paling efisien dalam mencegah transmisi TB.
Prinsip pengobatan TB yang adekuat meliputi:
- Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan obat yang meliputi minimal empat macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT.
- OAT diberikan dalam dosis yang tepat.
- OAT ditelan secara teratur dan diawasi oleh pengawas menelan obat (PMO) hingga masa pengobatan selesai.
- OAT harus diberikan dalam jangka waktu yang cukup, meliputi tahap awal/ fase intensif dan tahap lanjutan. Pada umumnya lama pengobatan TB paru tanpa komplikasi dan komorbid adalah 6 bulan. Pada TB ekstraparu dan TB dengan komorbid, pengobatan dapat membutuhkan waktu lebih dari 6 bulan
Obat anti tuberkulosis (OAT) Regimen pengobatan TB-SO (tuberkulosos sensitive obat) Paduan OAT untuk pengobatan TB-SO di Indonesia adalah: 2RHZE / 4 RH dengan pemberian dosis setiap hari.
Efek Samping OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping sehingga pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat. Jika efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatis, maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
- Isoniazid : Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda gangguan pada syaraf tepi berupa kesemutan, rasa terbakar di kaki tangan, dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah gejala defisiensi piridoksin (sindrom pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien.
- Rifampisin : Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis adalah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil, dan nyeri tulang.
- Sindrom dispepsia berupa sakit perut, mual, penurunan nafsu makan, muntah, diare.
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi adalah :
- Hepatitis imbas obat dan ikterik, bila terjadi maka OAT harus diberhentikan sementara.
- Purpura, anemia hemolitik akut, syok, dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi meskipun gejala telah menghilang.
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas.
Rifampisin dapat menyebabkan warna kemerahan pada air seni, keringat, air mata, dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya.
- Pirazinamid : Efek samping berat yang dapat terjadi adlaah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi dan dapat diatasi dengan pemberian antinyeri, misalnya aspirin. Terkadang dapat terjadi serangan artritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan penurunan ekskresi dan penimbunan asam urat. Terkadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan, dan reaksi kulit yang lain.
- Etambutol : Dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa penurunan ketajaman penglihatan dan buta warna merah dan hijau. Namun gangguan penglihatan tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, sangat jarang terjadi pada penggunaan dosis 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan saraf okuler sulit untuk dideteksi, terutama pada anak yang kurang kooperatif
- Streptomisin : Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang dapat dirasakan adalah telinga berdenging (tinitus), pusing, dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan dapat berlanjut dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah, dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga berdenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25 gram. Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil karena dapat merusak fungsi pendengaran janin.
Penatalaksanaan Efek Samping OAT