Isu kefarmasian di provinsi Bengkulou menjadi pokok bahasan penting ketiga, mengingat Destita Khairilisani juga adalah seorang apoteker.
Kegiatan ini dihadiri oleh Ketua PD IAI Bengkulu, apt. Yenni Fithriani, S.Si., MPA dan 11 orang lainnya yang mewakili Dewan Penasehat, para Ketua Seminat serta Pengurus Cabang Kabupaten Lebong dan Seluma.
Dalam kesempatan tersebut, apt Dheoziade perwakilan dari Himpunan Seminat Farmasi Masyarakat (Hisfarma) menyampaikan aspirasi mengenai dampak dari Undang-Undang No 17/2023 tentang Kesehatan yang memberikan celah obat dapat dijualbelikan secara bebas di sarana non kefarmasian.
‘’Hal lain yang menjadi keprihatinan kami, ibu senator, adalah mengenai pelayanan kefarmasian di faskes pertama, Dimana jasa layanan apoteker belum masuk dalam komponen pembiayaan dari pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional,’’ tutur apt Dheoziade.
Sementara apt Intan yang mewakili Himpunan Seminat Farmasi Rumah Sakit (Hisfarsi) berharap agar pemerintah dapat melugaskan bahwa kewenangan tentang pengadaan obat dan BMHP ada di apoteker.
Ia juga berharap agar DPD (Dewan Pertimbangan Daerah) dapat mendorong pejabat pengadaan yang ada di sarana milik pemerintah, untuk obat dan BMHP (Bahan Medis Habis Pakai), harus berprofesi Apoteker.
Perwakilan apoteker yang bekerja sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara) di Dinas Kesehatan Provinsi, memberikan gambaran terkait kondisi tenaga kefarmasian di Dinas Kesehatan.
Mereka mengharapkan adanya perbaikan terkait regulasi analisis beban kerja dan jabatan fungsional yang ditetapkan dari Kementerian Kesehatan.
Jabatan fungsional yang ada di Dinas Kesehatan hanya bisa ditempati oleh jabatan fungsional umum, seperti administrator kesehatan, pengawas dan lain-lain.
Sedangkan apoteker muda, apoteker pratama dan apoteker madya adalah jabatan fungsional yang ditempatkan di pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit atau UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) Farmasi.
SOTK (Struktur Organisasi dan Tata Kelola) Provinsi Bengkulu menempatkan pelayanan Gudang Farmasi berada didalam seksi farmasi, yang secara struktural diisi oleh fungsional umum.
Akibatnya, tidak ada apoteker yang melaksanakan pekerjaan kefarmasian seperti perencanaan obat, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan pengelolaan obat lainnya di seksi farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu.
Senator Destita Khairilisani menerima dengan antusias dan sangat bersemangat untuk mengangkat isu kefarmasian ini agar dapat disampaikan untuk mendapatkan solusi dan perbaikan.
Ia juga sangat terbuka untuk kerjasama di kemudian hari dan mengharapkan komunikasi yang berlanjut kedepannya.***